Sunday, December 24, 2017

Aku kembali dan kembali pergi

Aku terlalu mengkhawatirkan apa yang ngga seharusnya aku khawatirkan. Itu kebiasaan ku, akhir-akhir ini. Sejak aku kembali menyapamu dalam sebuah pesan singkat. Iya, aku mengumpulkan keberanian untuk menyapamu lebih dulu. Aku ingin tahu kabarmu seperti apa, setelah hampir delapan tahun mungkin kita hanya bertegur sapa dalam doa.

Aku selalu menanyakan kabarmu pada Tuhan ku, aku berdoa kepadanya. Apakabar mu, bagaimana kondisimu kini, apa kegiatanmu, dan hal lain yang aku tanyakan pada Dia. Hingga akhirnya, aku membuka aplikasi messanger dan mulai mengetik sebuah kata untuk menyapamu. Beruntung, aku tidak mendapatkan jawaban yang membuat hati ciut. Kamu masih seperti dulu, bersikap manis kepadaku. Menjawab sapaan itu saat itu.

Mulailah aku menanyakan nomor telepon mu, karena aku tahu kamu berganti nomor telepon untuk beberapa kali. Sama seperti ku, hingga aku berhenti dengan satu nomor, yang saat ini aku gunakan.

Untuk memulai perbincangan memang tidak mudah, terlebih percakapan itu terakhir kali ada sekitar delapan tahun yang lalu. Waktu yang cukup lama untuk tidak bertegur sapa. Aku canggung. Sangat canggung. Sedikit malu, karena aku yang lebih dulu menghubungimu dan bukan kamu yang menghubungiku.

Mulailah aku mengetik nama mu, untuk memanggilmu. Ternyata responmu saat itu baik dan aku merasa ini permulaan yang bagus untuk sebuah percakapan yang telah hening dalam hampir sewindu kebelakang.

Aku menanyakan kabarmu, begitupun kamu. Berbagi cerita tentang apa yang sudah dilewati, mulai dari tempat tinggal, sekolah, hingga dengan siapa terakhir kali menjalin hubungan dan sedang dekat dengan siapa akhir-akhir ini.

Percakapan itu menyalir begitu saja. Aku senang kembali menyapamu, menanyakan kabarmu, mengetahui kamu baik-baik saja.

Hingga beberapa hari kemudian, kamu berkata padaku bahwa kamu belum bisa melupakan ku. Kenangan yang dulu kita rajut bersama.

Mungkin waktu delapan tahun, belum mampu melupakan kenangan yang terjalin saat itu. Antara kamu dengan aku. Antara kita. Apa yang telah kita lewati bersama.

Tapi aku sadar satu hal, melupakan kenangan indah bersama orang yang spesial memang sulit untuk dilupakan. Sama seperti ku. Mungkin akupun seperti itu, sama sepertimu.

Kini, aku mencoba membuka hati kembali untukmu, mengkhawatirkan mu lagi seperti dulu. Menanyakan hal-hal kecil yang biasa aku tanyakan dulu.

Tapi sepertinya aku justru membuatmu mungkin tidak nyaman. Kini, aku kembali harus melangkahkan kaki mundur kebelakang dan berbalik arah. Untuk tidak melihatmu lagi dan berhenti menanyakan hal-hal seperti saat delapan tahun yang lalu.

Aku senang bisa menyapamu lagi. Membuat senyum indah di wajahmu dalam beberapa hari belakangan. Terima kasih dan terus lah mencari hingga kamu menjadi yang terakhir bagi si wanita yang kamu cintai.

Bekasi, 247.

Saturday, December 16, 2017

Pandangan Pertama

Pandangan pertama. ya. aku percaya pada pepatah ini 'love at the first sight', cinta pada pandangan pertama. Beberapa kali aku merasakannya. Beberapa kali itu juga aku dibuat melayang bahkan dalam beberapa kali itu juga aku terjatuh, ya terjatuh sakit. itu karena, love at the first sight dengan mereka yang telah memiliki anak. huft.

Sebelumnya, aku adalah type wanita yang tidak memiliki kriteria apapun tentang calon pasanganku nanti. sama sekali tidak. aku selalu berpegangan kalau hatiku bilang yes itu tandanya aku akan menerima siapapun yang hatiku bilang dengan sepenuh hati.

Aku penyuka pandangan pertama dan telah beberapa kali aku merasakan hal ini.

Ia datang seperti petir ditengah hari yang terik dengan sinar matahari. Bagaimana tidak, diantara kami tidak ada satupun yang menginginkan kehadiran dia. Sama sekali tidak.
Ia datang dengan sebuah masalah yang ia dan teman-temannya buat dan isu itu menyebar seantero perusahaan kami. Awalnya aku pribadi tidak ingin ambil pusing soal mutasi yang dialaminya dan isu yang tengah beredar di perusahaan karena aku tidak sempat lagi memikirkan urusan orang lain karena urusan ku sendiri saja sudah banyak, bagaimana aku menyurusi urusan orang lain. ok balik ke topik hehe

Perkenalan yang menyenangkan. Ia menyebutkan namanya dan posisi dia saat itu. Dengan mengenakan baju merah maroon, celana bahan dan kacamata endorse-an ia terlihat begitu tampan. Akupun tak segan-segan menerima uluran tangannya untuk berkenalan.

Saat itu aku belum memiliki pikiran apapun tentangnya, belum. yaa bukan berarti tidak ya. dan benar saja, seiring berjalannya waktu, kami ditempatkan dalam satu program. ya kami satu program. Hal itu semakin aku bersemangat untuk bekerja. 

Suatu hari, aku merasa ada yang aneh. Aku perhatikan dia, sekujur tubuhnya dari atas kepala hingga sepatu yang ia kenakan, termasuk tangannya. dan ternyata, aku menemukan perhiasan emas yang melingkari jari manis kanannya, saat itu juga hatiku hancur. yaaaa, sangat hancur. 

Bagaimana bisa ketika hatiku berkata 'yes' namun kenyataan berkata lain. Aku adalah orang yang percaya, jika seseorang mengenakan cincin dijari kanannya maka ia sudah 'taken by'. Ia pun juga begitu. 

Setelah aku mengetahui semuanya, aku mencoba ikhlas, sangat ikhlas. Aku mencoba bersahabat dengan perasaanku sendiri, perasaan yang aku pendam, hingga saat ini. Hingga tulisan ini ada, entah akan dibaca olehnya atau tidak, aku berharap semoga saja tidak.

Setelah aku berdamai dengan perasaanku, aku mulai berteman baik dengannya. Dia baik, sangat baik. Kebetulan agamanya sama denganku, Muslim. Ketika waktu sholat tiba, kami saling mengingatkan untuk sholat, begitu setiap hari. 

Sempat aku digosipkan dengannya oleh teman-teman kantorku. ya mungkin kami merasa cocok dalam hal berdiskusi aku sebagai bawahannya dan dia atasanku, wajar saja kalau kita dekat. dan banyak yang membicarakan kami.

Pukul 9 malam waktunya kami untuk pulang kerumah. Rumahku berlokasi di Jakarta Selatan, sedangkan dia berada di Tangerang dan kantor kami berada di pusat Ibu Kota. Kebetulan arah rumahku dan kerumahnya sama, dan waktu itu dia menawarkan untuk pulang dengannya dan tentu saja aku turun dijalan dan melanjutkannya dengan transjakarta. Aku mengiyakan ajakannya. Kamipun pulang berboncengan menggunakan motornya. Disepanjang jalan kami berbincang banyak hal, seputar kantor, pekerjaan yang mengasikkan, bagaimana jadi jurnalis handal dan lain-lain. Dan tak luput perbincangan seputar radiopun kami bahas karena kami pernah terjun didunia radio, lagi lagi ia lebih senior dan aku? hanya apalah di radio kampus yang ditengah jalan aku memutuskan untuk keluar namun aku menyesal. Ya nasi telah menjadi bubur.

Kegiatan pulang kantor bersamapun sempat terjadi sekian lama, hampir 4 atau 5 bulan. Waktu yang tidak sebentar, banyak hal yang sudah kami ceritakan bersama. Tentu bukan sebagai seseorang yang menyukainya tapi aku menempatkan diriku sebagai seseorang pengagum. Ya aku telah menganggapnya seperti kakakku sendiri, ya kakak ku sendiri. Dia baik sekali.

Hingga akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dari kantor itu dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Semua prosesnya dilancarkan oleh Allah. Alhamdulillah.
Untuk urusan pindah kantor aku juga cerita padanya, diskusi panjang, baik buruk, masa depan nantinya dan ia memberi saran ambil saja, ya aku mendapatkan satu suara positif. Lalu aku bertanya pada orang tua, kakak, mereka bilang ya. Atas beberapa saran dari orang terdekatku, aku memutuskan untuk pindah kantor. 

Hingga berada di kantor baru, aku merasa ada yang ganjal, aku menghadapi kenyataan bahwa aku tidak akan mempunyai atasan sepertimu di kantor baruku. semua berbeda, tapi aku mensyukurinya.

Quotes:
Bersahabatlah dengan perasaanmu dan berdamailah dengannya, maka kamu akan mendapatkan perasaan yang jauh lebih damai dari yang kamu harapkan.

.
.
19 November 2016
.Jakarta, 247.


Teringatmu (lagi)

Pagi hari. Suatu kondisi dimana selalu aku rindukan. Sejuknya udara, merdunya kicauan burung tetangga, terbangun dari mimpi indah semalam dan lagi lagi terbangun dengan ingatan selalu tentangmu. Selalu tentangmu.

Sebenarnya aku bosan dan selalu berhenti untuk mengingatmu, namun aku tak tahu bagaimana caranya untuk melupakanmu, bahkan untuk tidak memunculkan namamu dibenakku saja aku tidak beradaya. Selalu saja terlintas.

Nama yang seharusnya sudah tidak boleh aku pikirkan. Nama yang sudah menjadi nama belakang di sebuah hadiah dalam pernikahan. Ya, saat ini kamu telah memiliki anak. Hasil pernihakanmu dengan dia, wanita yang kau kenal semasa kamu kuliah. Wanita yang selalu kamu rindukan saat kamu dan dia belum resmi.

Saat undangan berlogo khas Sumatera Barat itu ada di mejaku, saat itu aku berdoa itu bukan darimu, bukan undangan kamu dengannya. bukan. tapi ternyata aku salah. ketika aku mengangkat undangan itu, nama yang ku lihat pertama kali adalah nama mempelai pria, benar saja namamu tertulis disana, diundangan itu. Namamu bersanding dengan dia. Posisi mempelai wanita sudah ku impikan sejak lama, namun aku menemui kenyataan bahwa bukan namaku yang berada diundangan itu.

Waktu pernikahanmu itu pun tiba. Tepat tanggal kesukaanku dibulan Desember kamu meminangnya, dengan lagi lagi baju dari daerah asal kalian berdua, ya kalian berdua. Bukan kamu dengan aku. Bukan. huft.

Kamu begitu gagah memakai baju kebangsaan daerahmu itu, sungguh gagah. Dalam ruangan itu yang dipenuhi dengan unsur daerah, khayalanku kembali menerawang. Seandainya saja yang bersanding dipelaminan itu aku dan kamu, pasti akan menjadi hari paling bahagia yang pernah aku rasakan. Kita menyalami semua undangan yang kita undang, termasuk sungkuman dengan kedua orang tua mu dan kedua orang tuaku. 

Kita berpelukan melakukan sesi foto, kamu melingkarkan maskawin dijari manisku, mencium keningku, dan kamu resmi menjadi suamiku dan imam dihidupku.

Kita tersenyum lebar dihari bahagia kita, tertawa bersama, celingak-celinguk melihat siapa tamu kita yang datang dan belum datang. Memandangi tamu yang sedang menikmati hidangan yang kita berikan untuk mereka, yang telah kita pilih bersama. Iya bersama.

Tapi kamu lakukan semua itu dengan dia, dengan dia. Bukan denganku. Dan khayalanku itupun buyar, saat ibuku mengajakku untuk bersalaman denganmu. Sebenarnya aku tidak mau, bahkan untuk menginjakkan kakiku di gedung resepsimu saja aku tak mau. Aku tak mau membuat hatiku makin teriris, makin terluka. Aku sudah terlalu lelah untuk menunggumu, tapi kenyataan kamu malah bersama yang lain. Iya, bersama dia.

20 November 2016
.Jakarta, 247.

Kembali Harus Melepas

Rintik hujan mulai membasahi pekarangan rumah. Aku berfikir hujan akan lama singgah, tapi ternyata aku salah. Hujan hanya singgah beberapa menit saja, sebelum akhirnya ia pergi dan tak tahu kapan akan menyapa ku lagi.

Mungkin hujan tidak ada bedanya seperti kamu. Iya kamu, yang aku pikir juga akan lama singgah, namun ternyata aku kembali salah.

Kamu yang berhasil membuat aku kembali merasakan apa yang selama beberapa tahun belakang ini hilang. Kehadiran kamu membawaku lagi pada masa itu, masa dimana sebuah bentuk perhatian menjadi amat penting.

Kamu menyadarkan aku bahwa kesendirian yang terlalu lama itu tidak baik. Kamu membawa semua impian impian itu hadir dan menyapa ku.
Jarak ribuan kilometer yang memisahkan kita, kamu yang berada di ujung Indonesia sana, sementara aku ada di Ibu Kota Indonesia yaitu Jakarta, bukan menjadi alasan untuk tidak berkomunikasi. Yaaa, kita begitu memanfaatkan kecanggihan teknologi dan akses komunikasi yang sudah menjangkau seluruh Indonesia.

Aku tidak tahu rencana Tuhan seperti apa sehingga Ia menghadirkan kamu, teman masa kecil ku untuk kembali menyapa ku. Lama tidak bersua, kembali membawa ku ke memori lama. Memori yang aku ingat betul bentuk dan rupa saat itu secara utuh. Masa dimana kamu dan aku hanya mengerti bagaimana caranya mengayuh sepeda dan praktik bagaimana cara membuat telur asin, ya karena kita satu kelas saat itu.

Kini kedatanganmu membawa harapan lebih untuk hidup ku. Dengan segala perbincangan yang kita lalukan pada malam menjelang pagi, percakapan yang aku ingat betul kata demi kata.

Rencana sudah kita susun, meskipun tidak ada ucapan yang jelas dan mengikat tapi kita sama sama yakin bahwa tahun depan menjadi awal yang indah. Berjanji untuk saling mengisi setibanya kamu di Jakarta nanti.
Sampai suatu malam, aku berdoa pada Penciptaku, apakah kamu yang terbaik untuk aku. Aku meminta kepada-Nya, memohon petunjuk-Nya, agar aku tak salah jalan lagi. Aku membisikan doa doa yang aku harap akan terjalin bersama mu. Namun sepertinya harapan itu harus aku kubur dalam-dalam, karena Penciptaku menyadarkan aku, mungkin kamu bukan yang tepat dan terbaik untuk aku.

Disaat yang bersamaan aku kembali tersadar, sekuat apapun aku mencoba menggenggammu, mempertahankanmu untuk selalu bersama ku, kamu tetap bukan untuk ku. Penciptaku bilang bahwa kamu bukan jodohku, dan aku diminta kembali untuk bersabar dan memperbaiki diri untuk menjadi manusia lebih baik.

Sekuat apapun kamu menggenggamnya, jika dia bukan untukmu, maka kamu harus rela melepas kembali dan berserah diri.

---
Tulisan ini aku buat bersama dengan turunnya hujan disuatu siang yang menyadarkan aku, untuk bagaimana seharusnya aku bersikap. Terimakasih telah hadir mengisi hariku dan membawa harapan itu untuk ku. Kini, berlayarlah kembali hingga kamu menemukan dimana pelabuhan terakhirmu untuk singgah dengan waktu lama
. Jakarta, 247.